Frima Nainggolan Web Blog. Powered by Blogger.

Thursday, 24 November 2011

Orientasi Pers Mahasiswa Paska ‘98

Sejarah Pers Mahasiswa

Sejarah pers di Indonesia sama tuanya dengan pergerakan nasional. Dalam sejarah perjuangan bangsa, dikenal tahun 1908 sebagai tonggak kebangkitan nasional yang ditandai dengan perubahan pola perjuangan dengan manajemen lebih modern. Tahun itu pula media-media nasional mulai bermunculan. Media yang ada lebih sebagai media agitasi dan propaganda dari perjuangan melawan kolonialisasi. Pembentukan rasa nasionalisme sangat kental dalam isi media tersebut. Tahap ini mengalami puncaknya ketika pemuda-pemudi saat itu berikrar bersama dalam semangat nasionalisme yang kemudian lebih dikenal sebagai sumpah pemuda. Memasuki masa kemerdekaan, agitasi dan propaganda lebih dikonsentrasikan pada upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Dikotomik pers mahasiswa dan pers umum mulai muncul tahun 1950-an. Tahun 1950 merupakan tahun kemenangan strategi diplomasi, dimana perjuangan-perjuangan mempertahankan kemerdekaan diselesaikan di meja perundingan. Saat itu, laskar-laskar rakyat diserukan kembali pada aktivitas masing-masing, yang berkerja di ladang kembali ke ladang, yang berjualan di pasar kembali ke pasar dan yang sekolah kembali ke sekolah (kampus). Tahun itu juga di Indonesia berlangsung demokrasi parlementer dimana kekuasaan dikendalikan oleh partai politik. Kekuasaan partai politik menembus samapi media dan kampus, saat itu semua media harus berafiliasi dengan partai politik tertentu. Dus, media menjadi corong dari program dan kepentingan partai politik. Begitu pun dengan kampus, partai politik mempunyai kebebasan untuk memasuki kampus. Partai Sosialis Indonesia (PSI) mendirikan Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS), Masyumi mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Partai Komunis Indonesia mendirikan Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan partai-partai lain pun menancapkan kakinya di dalam kampus.

Itulah awal dikenal adanya gerakan mahasiswa, jika sebelumnya hanya dikenal gerakan pemuda melalui laskar-laskar rakyat, sejak itu konsentrasi gerakan beralih di kampus-kampus melalui entitas bernama mahasiswa. Begitu pun dengan pers mahasiswa, pers yang bergerak dalam lingkungan kampus dan dikelola oleh mahasiswa. Sementara pers yang bergerak di luar kampus dikenal dengan istilah pers umum. Dikotomik pun mulai bergulir.
Konsolidasi pers mahasiswa mengental dengan ditandai berdirinya Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) pada tahun 1955. IPMI lahir dalam masa transisi demokrasi parlementer menuju demokrasi terpimpin. Wajar jika pilihan perjuangan saat itu dikonsentrasikan pada perjuangan untuk menghapus sistem demokrasi terpimpin yang otoriter, hingga rejim Soekarno dijatuhkan oleh kolaborasi militer dan gerakan mahasiswa.

Awal Orde Baru adalah masa bulan madu antara pers mahasiswa (IPMI) dengan kekuasaan, tapi ini hanya berlangsung sesaat, tahun 1970 kembali pers mahasiswa mendapatkan intimidasi dari kekuasaan militer Soeharto. Pembredelan-pembredelan dilakukan, hingga tuntutan IPMI harus menggabungkan diri dalam KNPI atau mengambil resiko dibubarkan.

Memasuki tahun 1980-an, praktis IPMI tidak mampu meneruskan konsolidasi gerakan pers mahasiswa. Beradaptasi dengan system baru NKK/BKK, pers mahasiswa berubah menjadi unit kegiatan minat-bakat sebagai UKM Jurnalistik, ataupun Unit Kegiatan Pers Mahsiswa. Namun aktivis pers mahasiswa tidak pernah surut, mulai tahun 1986, dilakukan konsolidasi secara sembunyi-sembunyi untuk membentuk suatu wadah baru pers mahasiswa. Baru pada tahun 1992, upaya ini membuahkan hasil, pada tanggal 15 Oktober 1992, disepakati terbentuknya Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia (PPMI, saat itu tidak diijinkan menggunakan istilah pers mahasiswa) sebagai wadah alternatif yang berupaya memupuk orientasi gerakan pers mahasiswa. Gerakan PPMI saat itu lebih sebagai upaya pembongkaran sistem NKK/BKK.


Liberalisasi Pers dan Pers Mahasiswa

Jatuhnya rejim Soeharto adalah peralihan hegemoni kekuasaan pada liberalisasi pers. Penantian yang panjang terhadap kebebasan pers ternyata tidak semulus yang diharapkan. Liberalisasi pers menghasilkan banyak setumpuk persoalan terkait dengan kepemilikan modal. Siapakah yang berkuasa dalam media? Secara sederhana, pemilik media (pemodal) mempunyai kekuasaan atas media tersebut. Dan berdasarkan penelitian ISAI (Istitut Studi Arus Informasi) yang dipublikasikan pada tahun 2001, menyebutkan bahwa pemilik media di Indonesia masih dikuasai oleh kelompok status quo, Keluarga Cendana dan kroni-kroninya (media cetak maupun media elektronik).

Penelitian ini mengindikasikan bahwa pembentukan opini umum masih banyak dikendalikan oleh rejim orde baru, sehingga harapan adanya pencerahan bagi masyarakat masih sulit diwujudkan.Sejalan dengan kebebasan pers, juga memunculkan sikap profesionalisme sebagai batasan tegas terhadap kebebasan yang kebablasan. Ciri profesionalisme bisa dilihat dari lima hal, yaitu : bersifat keilmuan, berorientasi ke publik dan terukur, ada moralitas (kode etik), mempunyai organisasi profesi, dan mempunyai kesungguhan (loyalitas tunggal). Namun, profesionalisme media (pers) yang digembar-gemborkan pers umum ternyata runtuh karena adanya kepentingan pemilik modal. Dalam banyak kasus, pemilik media lebih mengedepankan penaikkan oplah serta berita yang bombastis/ tendensius. Pemilik modal sering mengawasi tajuk rencana dari media, untuk memasukkan kepentingan-kepentingannya. Orientasi pada publik dan pencerahan masyarakat, sering diabaikan demi naiknya oplah media.

Berbeda dengan pers mahasiswa. Pers Mahasiswa mengandung dua istilah di dalamnya, yaitu pers, dan mahasiswa. Pemahaman pers, mengacu pada teori secara umum, mempunyai empat fungsi utama yaitu: Informasi dan hiburan, Pendidikan, Kontrol Soisal, dan Social Enggineering (Perekayasaan Sosial). Sementara pemahaman mahasisiwa selalu berkaitan dengan kampus. Mahasiswa adalah kelompok usia muda antara 17-25 tahun. Pada usia ini, manusia cenderung bersikap komunal (suka ngumpul), tidak terikat finansial (masih nebeng ortu), belum berumah tangga, punya semangat dan energi yang berlebih, dan kritis. Usia mahasiswa adalah usia dengan ciri yang kritis, bersemangat, idealis, dan usia yang produktif.

Keterkaitan mahasiswa dengan kampus meliputi persoalan-persoalan pendidikan, pengabdian masyarakat, kesejahtaeraan mahasiswa, dan aktualisasi diri. Karena itu, dinamika pers mahasiswa juga merupakan cerminan dari persoalan-persoalan tersebut. Tentu saja, pers mahasiswa harus memposisikan dirinya secara ilmiah, karena pers mahasiswa merupakan perpaduan antra pers dengan dunia kampus.

Karakter yang khas dari pers mahasiswa, membuat pers mahsiswa mempunyai posisi pas untuk melepaskan diri dari jebakan modal. Di tengah-tengah ketidakmampuan pers umum untuk melakukan pendidikan atau pencerahan kepada masuyarakat, pers mahasiswa sangat mungkin untuk mengambil peran tersebut.

Pers Mahasiswa paska ‘98


Paska ’98, persma sedang menerapkan paradigma baru dalam gerakannya, oleh karena itu seyogyanya persma tidak lagi hanya melakukan pendekatan-pendekatan yang romantis. Transformasi kebudayaan lewat media audiovisual berkembang dengan pesat. Seharusnya persma melihat itu sebagai lahan perjuangan. Karena kebetulan hingga kini masih belum ada pers yang memiliki ruh perjuangan yang jelas yang masuk ke dalamnya. Ketika hal itu sudah terjadi, maka pertempuran-pertempuran kecil sudah dimulai.

Menurut saya, pentinglah dari sekarang memahami dan menerawang jauh ke depan, misalnya 20 tahun dari sekarang. Pada saat itu pasti akan terjadi suatu pembenturan di dunia. Kalau kemarin kita ketahui benturan yang terjadi adalah lewat benturan ekonomi, lalu militer bahkan ideologi. Walaupun ternyata belum selesai lewat ideologi sehingga tercipta pembagian kiri-kanan, barat-timur. Sehingga sekarang perlu bagi kita untuk memprediksikan lewat apa benturan yang akan terjadi pada 20 tahun kedepan. Saat ini bukan lagi saatnya kita memikirkan kejadian kekinian karena itu hanyalah sebuah pendangkalan pikir.

Yang perlu kita lakukan sekarang adalah bagaimana melakukan resistensi lewat persma. Misalkan saja ketika bicara tentang rakyat, tampaknya mahasiswa sangat semangat. Tapi selama dia masih menjadi mahasiswa, itu masih sebatas wacana. Realitasnya sebenarnya baru akan muncul ketika mahasiswa telah lulus dan terjun di masyarakat, dan sering kali mereka tidak setia lagi dengan ideologi mereka semula. Contonya sekarang banyak aktivis mahasiswa yang ternyata tidak lagi setia kepada rakyat dan menjadi pedagang politik kelas wahid. Kesimpulanya iman perjuangan itu penting di pers mahasiwa. Pertanyaannya mengapa pers mahasiswa cenderung mampu menjaga kesetiaan ideologi mereka dibanding dengan orang yang telah terjun di masyarakat? Jawabannya mungkin karena di sana ada tanggung jawab intelektual. Karena bagi orang yang memiliki tanggung jawab intelektual tidak akan mudah untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan hati nurani mereka.

Sekarang krisis resistensi sedang melanda negara kita, bahkan para pemimpin negara kita pada saat ini sedang kebingungan menentukan arah politik kebijakan negara. Lantas bagaimana dengan mahasiswa? Saya harap pers mahasiswa tidak terlalu terlibat dalam pemikiran-pemikiran yang sifatnya kekinian karena itu hanya bersifat pendangkalan-pendangkalan. Padahal pers mahasiswa mampu menyumbangkan hal yang lebih bermakna. Misalnya dengan memberikan wacana-wacana yang sifatnya lebih inofatif dan tawaran-tawaran paradigma baru bagaimana menjadi Indonesia yang lebih baik. Karenanya kebebasan pers saja tidak cukup.

Pada saat ini kebebasan pers di Indonesia sudah kebablasan, ironisnya kebebasan pers Indonesia tidak memberikan apa-apa. Kebebasan yang membodohkan itu adakah suatu bentuk dari kebebasan pers yang tidak ideologis. Sehingga perlu bagi persma untuk memperjelas posisi dan pilihan-pilihanya sampai pada pilihan-pilihan ideologis.

Perlu kita pahami bahwa sesungguhnya pers tidak akan pernah bisa objektif, kalaupun ada keobjektifan kita hanya satu. Yaitu keperpihakan kepada rakyat, keperpihakan kepada yang tertindas. Karenanya syah bagi persma untuk menciptakan parameter keobjektifan sendiri, tidak perlu terlalu kaku dengan aturan coverbothside yang harus benar-benar seimbang. karena kondisi rakyat dengan orang–orang besar di pemerintahan jelas berbeda. Sehingga keseimbangan berita itu tidak akan pernah bisa mengurangi penderitaan rakyat.
Dari analog kebebasan pers menjadi Pers pembebasan dalam persma kiranya mampu membuat suatu changge di Indonesia. Kalau pers kampus hanya sebatas kampus, itu sudah kuno bahkan akan berkesan elitisme. Salah satu tugas persma yang utama adalah bagaimana menjadikan kampus sebagai bagian dari masyarakat (rakyat) yang memerlukan pertolongan. Bagaimana demokrasi tidak diartikan sebagai one man one vote tapi sebetulnya voter yang seribu dimanipulasi oleh satu orang.

Gerakan-gerakan advokasi yang dilakukan mahasiswa bisa dilakukan lintas sektoral berbeda dengan yang dilakukan LSM yang lebih bersifat sektoral. Saatnya sekarang pers mahasiswa bisa menjadi penghubung dan stimulator bagi tumbuhnya gerakan rakyat. Tapi biarkan kekuatan rakyat tumbuh karena kesadarannya. Sayangnya persma sekarang terjebak pada level wacana. Wacana itu penting tetapi yang lebih penting bagaimana mengimplementasikan wacana ini pada tataran kehidupan yang lebih nyata. Paling tidak dari gerakan itu ada interaksi positif dan hipotesis yang bisa ditawarkan. Sehingga akhirnya melahirkan sintesis baru dari perkembangan dan benturan yang terjadi.

Jadi jangan sampai persma hanya terjebak pada intelectual production saja, tetapi juga mampu bekerja pada tataran praksis. Kaitannya dengan pers mahasiswa sebagai pers pembebasan adalah menuju sebagai defender of people (benteng rakyat).
Jadi perjuangan yang dilakukan oleh pers mahasiswa baik yang dilakukan oleh kita dalam level apapun, janganlah menjadi sombong, harus rendah hati. Bukan berjuang demi dan untuk rakyat, tetapi berjuang bersama-sama rakyat. Hal ini untuk menghindari sisi arogansi yang masih sering nampak pada diri kita. Jadi yang baik dilakukan adalah dari dan berjuang bersama-sama rakyat.

Mahasiswa sekarang adalah generasi yang mengugat nilai, tidak mempunyai musuh yang jelas seperti generasi sebelum tahun 1998. Generasi sekarang adalah generasi reflection, untuk mencari nilai dan arah gerakan yang tepat. Dalam kontek inilah terdapat arti penting perlunya menata kembali pola gerakan. Saya mengajak teman-teman untuk masuk ke wilayah pergerakan, yang artinya konsepsional, terarah dan terkendali dalam kontek ideologi dan terpadu dan komperhensif dalam pengertian bagaimana mencapai sasaran strategis yang didasari pilihan-pilihan ideologis dan target oriented. Lebih dari itu juga mempunyai parameter penilaian yang jelas dan bisa diukur.


Sumber : http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=168734&page=1

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

  © Blogger templates Newspaper by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP