Frima Nainggolan Web Blog. Powered by Blogger.

Sunday, 19 August 2012

Kabupaten DAIRI


Sejarah Singkat Pembentukan Kabupaten Dairi


A. Sebelum Penjajahan Belanda

Pemerintahan di Dairi telah ada jauh sebelum kedatangan penjajahan Belanda. Walaupun saat itu belum dikenal sebutan Wilayah/Daerah Otonomi, tetapi kehadiran sebuah pemerintahan pada zaman tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dengan adanya pengakuan terhadap Raja-raja Adat. Pemerintahan masa itu dikendalikan oleh Raja Ekuten/Takal Aur/Kampung/Suak dan Pertaki sebagai raja-raja adat merangkap sebagai Kepala Pemerintahan.

Adapun struktur Pemerintahan masa itu diuraikan sebagai berikut :
  1. Raja Ekuten, sebagai pemimpin satu wilayah (suak) atau yang terdiri dari beberapa suku/kuta/kampong Raja Ekuten disebut juga Takal Aur, yang merupakan Kepala Negeri.
  2. Pertaki, sebagai pemimpin satu Kampung, setingkat dibawah Raja Ekuten.
  3. Sulang Silima, sebagai pembantu pertaki pada setiap kuta (Kampung), yang terdiri dari : 1) Perisang-isang; 2) Perekur-ekur; 3) Pertulan tengah; 4) Perpunca ndiadep; 5) Perbetekken.
Menurut berbagai literatur sejarah bahwa wilayah Dairi sangat luas dan pernah jaya dimasa lalu. Sesuai dengan Struktur Organisasi Pemerintahan tersebut di atas, maka wilayah Dairi dibagi atas 5 (lima) wilayah (suak/aur) yaitu :
  1. Suak/Aur SIMSIM, meliputi wilayah : Salak, Kerajaan, Siempat Rube, Sitellu Tali Urang Jehe, Sitellu Tali Urang Julu dan Manik.
  2. Suak/Aur PEGAGAN dan Kampung Karo, meliputi wilayah : Silalahi, Paropo, Tongging, Pegagan Jehe dan Tanah Pinem.
  3. Suak/Aur KEPPAS, meliputi wilayah : Sitellu Nempu, Silima Pungga-Pungga, Lae Luhung dan Parbuluan.
  4. Suak/Aur BOANG, meliputi wilayah : Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, Belenggen, Gelombang Runding dan Singkil (saat ini Wilayah Aceh)
  5. Suak/Aur KLASEN, meliputi wilayah : Sienem koden, Manduamas dan Barus


B. Masa Penjajahan Belanda

Pada masa perjuangan melawan penjajahan Belanda, sejarah mencatat bahwa Raja Sisisngamangaraja XII semasa hidupnya cukup lama berjuang di Daerah Dairi, karena wilayah Bakkara dan wilayah Toba pada umumnya telah dibakar habis dan dikuasai oleh Belanda. Kondisi tersebut tidak memungkinkan lagi untuk bertahan dan meneruskan perjuangannya, sehingga beliau hijrah ke Dairi, beliau wafat pada tanggal 17 Juni 1907 di Ambalo Sienem Koden yang ditembak atas perintah komandan Batalion Marsuse Belanda, Kapten Cristofel.

Pada masa penjajahan Belanda yang terkenal dengan politik Devide Et Impera, maka nilai-nilai, pola dan struktur Pemerintahan di Dairi mengalami perubahan yang sangat cepat dengan mengacu pada system dan pembagian wilayah Kerajaan Belanda, maka Dairi saat ini ditetapkan pada suatu Onder Afdeling yang dipimpin seorang Cotroleur berkebangsaan Belanda dan dibantu oleh seorang Demang dari penduduk Pribumi/Bumi Putra. Kedua pejabat tersebut dinamai Controleur Der Dairi Landen dan Demang Der Dairi Landen.

Pemerintah Dairi landen adalah sebagian dari wilayah Pemerintahan Afdeling Batak Landen yang dipimpin Asisten Residen Batak Landen yang berpusat di Tarutung. Sistem ini berlaku sejak dimulainya perjuangan pahlawan Raja Sisingamangaraja XII dan berlaku juga sampai penyerahan Belanda atas penduduk Nippon (Jepang) pada tahun 1942.
Selama penjajahan Belanda inilah Daerah Dairi mengalami sangat banyak penyusutan wilayah, karena politik penjajahan kolonial Belanda yang membatasi serta menutup hubungan dengan wilayah-wilayah Dairi lainnya yaitu :
  1. Tongging, menjadi wilayah Tanah Karo;
  2. Manduamas dan Barus, menjadi wilayah Tapanuli Tengah;
  3. Sienem Koden (Parlilitan), menjadi wilayah Tapanuli Utara;
  4. Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, Gelombang, Runding dan Singkil menjadi wilayah Aceh.
Setelah kolonial Belanda menguasai Daerah Dairi, maka untuk kelancaran Pemerintahan Hindia Belanda membagi Onder Afdeling Dairi menjadi 3 (tiga) Onder Districk, yaitu :

1. Onder Districk Van Pakpak, meliputi 7 kenegerian yakni :
    1.1. Kenegerian Sitellu Nempu;
    1.2. Kenegerian Siempat Nempu Hulu;
    1.3. Kenegerian Siempat Nempu;
    1.4. Kenegerian Silima Pungga-Pungga;
    1.5. Kenegerian Pegagan Hulu;
    1.6. Kenegerian Parbuluan;
    1.7. Kenegerian Silalahi Paropo;

2. Onder Districk Van Simsim, meliputi 6 (enam) Kenegerian yakni :
    2.1. Kenegerian Kerajaan;
    2.2. Kenegerian Siempat Rube;
    2.3. Kenegerian Mahala Majanggut;
    2.4. Kenegerian Sitellu Tali Urang Jehe;
    2.5. Kenegerian Salak;
    2.6. Kenegerian Ulu Merah dan Salak Penanggalan;

3. Onder Districk Van Karo Kampung, meliputi 5 (lima) Kenegerian, yakni :
   3.1. Kenegerian Lingga (Tigalingga);
   3.2. Kenegerian Tanah Pinem;
   3.3. Kenegerian Pegagan Hilir;
   3.4. Kenegerian Juhar Kedupan Manik;
   3.5. Kenegerian Lau Juhar.


C. Masa Pemerintahan Penduduk Jepang

Setelah jatuhnya Hindia Belanda atas pendudukan Dai Nippon, maka pemerintahan Belanda digantikan oleh Militerisme Jepang. Secara umum pemerintahan Bala Tentara Jepang membagi wilayah Indonesia dalam 3 bagian yaitu :
  1. Daerah yang meliputi Jawa, berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat yang berkedudukan di Jakarta;
  2. Daerah yang meliputi pulau Sumatera, berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat yang berkedudukan di Tebing Tinggi;
  3. Daerah � daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di Makassar.
Pada masa itu pemerintahan Jepang di Dairi memerintah cukup kejam dengan menerapkan kerja paksa membuka jalan Sidikalang sepanjang lebih kurang 65 km, membayar upeti dan para pemuda dipaksa masuk Heiho dan Giugun untuk bertempur melawan Militer Sekutu.
Pada masa Pemerintahan Jepang pada dasarnya tidak terdapat perubahan prisipil dalam susunan Pemerintahan di Dairi. Karena tidak berubah susunan/struktur Pemerintahan di Dairi, tetapi mengganti jabatan lama, antara lain yaitu :
  • Demang diganti menjadi GUNTYO
  • Asisten Demang diganti menjadi HUKU GUNTY
  • Kepala Negeri diganti menjadi BUN DANYTO
  • Kepala Kampung diganti menjadi KUNTYO
Hal yang menarik dalam pengaturan tingkat Pemerintahan pada masa penjajahan Jepang adalah wilayah/Daerah Propinsi dihapus dan wilayah Keresidenan tingkatan yang tertinggi. Nama wilayah juga diganti dengan bahasa Jepang yaitu :
  • Keresidenan, diganti menjadi Syuu dan residen disebut Syuu-Co
  • Kabupaten, diganti menjadi Ken dan Bupati disebut Ken-Co
  • Kewedanaan, diganti menjadi Gun dan Wedana disebut Gun-Co
  • Kecamatan, diganti menjadi Son dan Camat disebut Son-Co


D. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Setelah kemerdekaan diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, maka pasal 18 UUD 1945 menghendaki dibentuknya Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, sehingga sebelum Undang-Undang tersebut dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam rapatnya tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan Daerah Republik Indonesia untuk sementara dibagi atas 8 (delapan) Propinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur. Daerah Propinsi dibagi dalam Keresidenan yang dikepalai seorang Residen. Gubernur dan Residen dibantu ileh Komite Nasional Daerah.


1. Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

Mengingat keadaan pada masa tersebut Belanda masih ingin menjajah kembali di Indonesia, sementara Undang-Undang belum dibentuk, maka dikeluarkanlah Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 tentang pemberian kekauasaan legislative kepada Komite Nasional Indonesia Pusat, untuk mempertegas kedudukannya yang pada waktu dianggap sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Sehubungan dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tersebut maka kedudukan Komite Nasional

Daerah pun perlu ditegaskan. Untuk keperluan inilah maka dikeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1945 tentang kedudukan Komite Nasional Daerah.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945, maka di Dairi dibentuk Komite Nasional Daerah untuk mengatur Pemerintah dalam mengisi Kemerdekaan dengan susunan sebagai berikut :

Ketua Umum : Jonathan Ompu Tording Sitohang
Ketua I : Djauli Manik
Ketua II : Noeh Hasibuan
Ketua III : Raja Elias Ujung
Sekretaris I : Tengku Lahuami
Sekretaris II : Gr. Gindo Muhammad Arifin
Bendahara I : Mula Batubara
Bendahara II : St. Stepanus Sianturi

Untuk melengkapi dan menampung aspirasi rakyat Dairi, dipulih pula anggota komisi sebanyak 35 orang yang tersebar di Daerah Dairi dan setiap Kewedanaan dibentuk pula pembantu Komite Nasional Daerah.
 Tugas utama dari Komite Nasional Daerah adalah :
1. Mempersiapkan pemilihan Dewan Negeri;
2. Menyelesaikan Pemilihan Kepala Kampung;
3. Membentuk Pemerintahan dan Badan Perjuangan;


2. Masa Agresi Militer I

Pada masa Agresi Militer pertama yakni tanggal 6 Juli 1947 Belanda telah menguasai Sumatera Timur sehingga masyarakat Dairi yang berada di sana mengungsi kembali ke Dairi. Untuk menyelenggarakan Pemerintahan serta menghadapi perang melawan Agresi Belanda, maka Residen Tapanuli saat itu Dr. Ferdinand Lumbantobing, selaku Gubernur Militer Sumatera Timur dan Tapanuli, menetapkan Residen Tapanuli menjadi empat (4) Kabupaten yaitu :
1. Kabupaten Dairi;
2. Kabupaten Toba Samosir;
3. Kabupaten Humbang;
4. Kabupaten Silindung.

Berdasarkan surat Residen Tapanuli Nomor 1256 tanggal 12 September 1947, maka ditetapkanlah PAULUS MANURUNG sebagai Kepala Daerah Tk. II pertama di Kabupaten Dairi yang berkedudukan di Sidikalang, terhitung mulai tanggal 1 Oktober 1947 (catatan : hari bersejarah ini berdasarkan kesepakatan pemerintah dan masyarakat kelak dikukuhkan sebagai hari jadi Kabupaten Dairi, melalui Keputusan DPRD Kab. Dati II Dairi Nomor 4/K-DPRD/1997 tanggal 26 April 1977).
Kabupaten Dairi saat itu dibagi menjadi tiga (3) Kewedanaan yaitu :

1) Kewedanaan Sidikalang dipimpin oleh J.O.T Sitohang. Kewenangan Sidikalang dibagi atas 2 (dua) kecamatan, yaitu:
    a. Kecamatan Sidikalang, dipimpin oleh Tahir Ujung
    b. Kecamatan Sumbul, dipimpin oleh Mangaraja Lumbantobing

2) Kewedanaan Simsim, dipimpin oleh Raja Kisaran Massy Maha. Kewedanaan Simsim dibagi atas 2 (dua) kecamatan, yaitu :
    a. Kecamatan Kerajaan, dipimpin oleh Raja Kisaran Massy Maha
    b. Kecamatan Salak, dipimpin oleh Poli Karpus Panggabean

3) Kewedanaan Karo Kampung, dipimpin oleh Gading Barklomeus Pinem. Kewedanaan Karo Kampung, dibagi atas dua (2) kecamatan, yaitu :
    a. Kecamatan Tigalingga, dipimpin oleh Ngapid Dapid Tarigan
    b. Kecamatan Tanah Pinem, dipimpin oleh Johannes Pinem


3. Masa Agresi Militer II

Pada Masa Agresi Militer II Belanda, maka hampir seluruh wilayah Indonesia dapat dikuasai kembali oleh Belanda, demikian juga halnya di Dairi bahwa pada tanggal 23 Desember 1948 Belanda telah berhasil menduduki Kota Sidikalang dan Tigalingga, sehingga saat itu Kepala Daerah Tk. II Dairi, Paulus Manurung menyerah sedangkan sebagian besar masyarakat serta Pegawai Pemerintah mengungsi dari Kota Sidikalang untuk menghindari serangan Belanda.

Untuk menyusun strategi melawan Agresi Belanda, maka Mayor Selamat Ginting selaku komandan sektor III sub teritorium VII memanggil Gading Barklomeus Pinem dan J.S. Meliala ke Kampung Jandi Tanah Karo. Berdasarkan surat perintah komandan sektor III sub teritorian VII tanggal 11 Januari 1949 Nomor 2/PM/1949 diangkatlah G.B.Pinem sebagai Kepala Pemerintahan Militer di Dairi dan J.S Meliala sebagai Sekretaris.

Untuk lebih menyempurnakan Pemerintahan Militer menghadapi Agresi Belanda maka Dairi dimekarkan dari 6 (enam) Kecamatan menjadi 12 (dua belas) Kecamatan. Menjelang penyerahan (baca : pengakuan) kedaulatan wilayah Indonesia oleh Belanda, maka Pemerintah Militer di Dairi kembali ke Pemerintahan Sipil. Sebagai Kepala Pemerintahan Dairi adalah Raja Kisaran Massy Maha yang kemudian digantikan oleh Jonathan Ompu Tording Sitohang pada tanggal 10 Desember 1949. Pada masa tersebut Wilayah Kecamatan di Kabupaten diciutkan dari 12 (dua belas) Kecamatan menjadi 8 (delapan) Kecamatan, yaitu :
1. Kecamatan Sidikalang, ibukotanya Sidikalang dipimpin oleh Asisten Wedana, M. Bakkara;
2. Kecamatan Sumbul, ibukotanya Sumbul dipimpin oleh Wedana, Bonipasius Simangunsong;
3. Kecamatan Salak, ibukotanya Salak dipimpin oleh Asisten Wedana, Poli Karpus Panggabean;
4. Kecamatan Kerajaan, ibukotanya Sukaramai dipimpin oleh Asisten Wedana, Wal Mantas Habeahan;
5. Kecamatan Tiga Lingga, ibukotanya Tigalingga dipimpin oleh Asisten Wedana, Gayur Silaen;
6. Kecamatan Tanah Pinem, ibukotanya Kuta Buluh dipimpin oleh Asisten Wedana, Ngapid David Tarigan;
7. Kecamatan Silima Pungga-Pungga, ibukotanya Parongil dipimpin oleh Asisten Wedana Alex Sitorus;
8. Kecamatan Siempat Nempu, ibukotanya Buntu Raja dipimpin oleh Asisten Wedana, Urbanus Rajagukguk.

Setelah situasi dan kondisi kembali normal dari pergolakan Agresi Militer dengan adanya pengakuan kedaulatan, maka sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yaitu Undang-Undang pokok tentang Pemerintahan Daerah yang sebenarnya telah mulai berlaku sejak diumumkan pada tanggal 1 April 1950, Kabupaten Dairi menjadi bagian dari wilayah hokum Kabupaten Tapanuli Utara.

Akan tetapi berhubung pemulihan Pemerintahan RI akan terjadi, K.M. Maha dipanggil Residen Tapanuli ke Sibolga dan tidak kembali lagi melaksanakan tugas sebagai Kepala Pemerintahan Militer Kabupaten Dairi, sehingga J.O.T. Sitohang diangkat menjadi Kepala Daerah Tk. II Dairi.

Perubahan struktru Pemerintahan setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia serta pemulihan keamanan bahwa Kecamatan tetap 8 (delapan), Kewedanaan dihapus, Kenegerian dan Kampung berjalan sebagaimana biasa.


4. Masa Pemberontakan PRRI

Kemudian peristiwa terjadi pada tahun 1958, karena timbulnya peristiwa pemberontakan PPRI yang mengakibatkan terputusnya hubungan antara Sidikalang (Dairi) dengan Tarutung sebagai ibukotanya Tapanuli Utara. Atas kondisi rawan tersebut, maka untuk menjaga kevakuman Pemerintahan oleh Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara dengan suratnya Nomor 656/UPS/1958 tanggal 28 Agustus 1958 mengambil kebijakan penting dalam Pemerintahan dengan menetapkan Daerah Dairi menjadi Wilayah Administratif yaitu ; Coordinator Schaap, yang secara langsung berurusan dengan Propinsi Sumatera Utara. Untuk mengisi Coordinator Schaap Pemerintahan di Dairi dihunjuk sebagai pimpinan adalah Nasib Nasution (Pati pada Kantor Gubernur Sumatera Utara), dan tidak begitu lama diangkatlah Djauli Manik sebagai Schaap Pemerintahan Dairi.


5. Perjuangan Pembentukan Daerah Otonom

Sejak tahun 1958, aspirasi masyarakat Dairi untuk memperjuangkan Daerahnya sebagai Kabupaten yang Otonom tetap tumbuh berkembang dengan mengutus pertama Tokoh masyarakat ke Jakarta untuk menyampaikan hasrat dimaksud agar disetujui. Aspirasi dan tuntutan tersebut terus berkembang sampai tahun 1964 dan saat itu tokoh masyarakat, Mengantar Dairi Solin, dkk diutus dan berangkat ke Jakarta untuk memperjuangkannya di Departemen Dalam Negeri. Akhirnya pertimbangan persetujuan pemerintah pusat c.q Menteri Dalam Negeri saat itu Bpk. Sanusi Hardjadinata yang pada tahun itu menyetujui Daerah Otonom Kabupaten yang terpisah dari Kabupaten Tapanuli Utara.

Dalam situasi tersebut dikeluarkan Undang-Undang darurat yaitu Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor. 4 tahun 1964 tanggal 13 Pebruari 1964 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi dan pemilihan Bupati yang Defenitif, maka diangkatlah Rambio Muda Aritonang sebagai pejabat Bupati KDH Dairi setelah beliau selesai menyusun Anggota DPRD sebanyak 20 orang, dilanjutkan dengan pemilihan Bupati.

Saat itulah terpilih Mayor Raja Nembah Maha, yang memperoleh suara terbanyak menjadi Bupati KDH Tingkat II Dairi dan Wal Mantas Habeahan terpilih sebagai Sekretaris Daerah.

Kemudian oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor.15 Tahun 1964 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi (sebagai Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1964).

Peresmian Kabupaten Daerah Tingkat II Otonom dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara oada tanggal 2 Mei 1964 bertempat di Gedung Nasional Sidikalang.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1964 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi, yang berlaku surat mulai tanggal 1 Januari 1964, maka wilayah Kabupaten Dairi pada saat pembentukannya terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan yaitu:
1. Kecamatan Sidikalang, ibukotanya Sidikalang;
2. Kecamatan Sumbul, ibukotanya Sumbul;
3. Kecamatan Tigalingga, ibukotanya Tigalingga;
4. Kecamatan Tanah Pinem, ibukotanya Kutabuluh;
5. Kecamatan Salak, ibukotanya Salak;
6. Kecamatan Kerajaan, ibukotanya Sukarame;
7. Kecamatan Silima Pungga-Pungga, ibukotanya Parongil;
8. Kecamatan Siempat Nempu, ibukotanya Bunturaja;


6. Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, maka telah ditetapkan dalam pasal 75 bahwa pembentukan, Nama, Batas, Sebutan, Ibukota Wilayah Administratif (termasuk Kecamatan) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Proses pembentukan Kecamatan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138-210 tahun 1982 tanggal 3 Maret 1982 tentang Tata Cara Pembentukan Kecamatan dan Perwakilan Kecamatan maupun Surat Edaran Mendagri Nomor 138/2603/PUOD tanggal 7 Juli 1981, Perihal; Prosedur Penyelesaian masalah pembentukan Wilayah Kecamatan.

Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, meningkatkan kegiatan pembangunan dan semakin bertambahnya volume tugas Pemerintahan, maka wilayah Kabupaten Dairi dari 8 (delapan) Kecamatan agar dibentuk 4 (empat) Perwakilan Kecamatan baru sebagai pemekaran dari 4 (empat) Kecamatan yaitu:
  1. Perwakilan Kecamatan Parbuluan dengan ibukotanya Sigalingging, sebagai pemekaran dari Kecamatan Sidikalang;
  2. Perwakilan Kecamatan Pegagan Hilir dengan ibukotanya Tigabaru, sebagai pemekaran dari Kecamatan Tinga Lingga;
  3. Perwakilan Kecamatan Siempat Nempu Hulu dengan ibukotanya Silumboyah, sebagai pemekaran dari Kecamatan Siempat Nempu;
  4. Perwakilan Kecamatan Siempat Nempu Hilir dengan ibukotanya Sopo Butar, sebagai pemekaran dari Kecamatan Siempat Nempu.
Sesuai dengan Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 138/579/PUOD tanggal 7 Pebruari 1985 perihal Pembentukan Perwakilan Kecamatan di Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, maka ditetapkanlah Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 138/1373/K/THN 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi. Peresmian 4 (empat) Perwakilan Kecamatan tersebut dilaksanakan tanggal 25 Mei 1985 oleh pembantu GUBSU Wilayah II yang dipusatkan di Sigalingging ibukota Perwakilan Kecamatan Parbuluan.

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan di Wilayah Kecamatan/Perwakilan Kecamatan, maka dibentuklah 2 (dua) Kantor Pembantu Bupati KDH Tk. II Dairi berdasarkan Keputusan Dalam Negeri No. 136.22-310 tanggal 9 April 1985 tentang Pembentukan Wilayah kerja Pembantu Bupati KDH Tk.II Dairi dalam Wilayah Provinsi Dati I Sumatera Utara dan Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sumatera Utara Nomor 061.1 � 2384 tentang pembentukan pembantu Bupati KDH Tk.II Dairi Wilayah I dan II.

Adapun pembagian Wilayah pembantu KDH Tk.II saat itu adalah sbb:

A. Wilayah I yang berpusat di Sumbul, terdiri dari :
   1. Kecamatan Sidikalang
   2. Kecamatan Sumbul;
   3. Kecamatan Salak;
   4. Kecamatan Kerajaan;
   5. Perw. Kecamatan Parbuluan

B. Wilayah II yang berpusat di Tigalingga, terdiri dari :
   1. Kecamatan Tigalingga;
   2. Kecamatan Tanah Pinem;
   3. Kecamatan Silima Pungga-Pungga;
   4. Kecamatan Siempat Nempu;
   5. Perw. Kecamatan Siempat Nempu Hulu;
   6. Perw. Kecamatan Siempat Nempu Hilir;
  7. Perw. Kecamatan Pegagan Hilir;

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1991 tanggal 7 September tahun 1991, maka perwakilan Kecamatan Parbuluan dipisahkan dan ditingkatkan statusnya menjadi Kecamatan yang Definitif dan diresmikan oleh Gubernur KDH Tk.I Sumatera Utara tanggal 30 Oktober 1991 di Sigalingging.

Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1992, tanggal 13 Juli 1992, maka Perwakilan Kecamatan Siempat Nempu Hilir, Siempat Nempu Hulu dan Pegagan Hilir ditetapkan menjadi Kecamatan Defenitifd dan diresmikan secara terpusat oleh Gubernur KDH Tk.I Sumatera Utara pada tanggal 19 Oktober 1992 di Kecamatan Pagaran, Kabupaten Tapanuli Utara.


7. Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka sesuai ketentuan pasal 66 ayat (6) bahwa pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Dengan mempedomani Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000 tentang pedoman Pembentukan Kecamatan, maka menyikapi Aspirasi masyarakat yang telah lama tumbuh dan berkembang di Kecamatan Silima Pungga-Pungga dan Kecamatan Salak dibentuklah 2 (dua) Kecamatan baru di Kabupaten Dairi yaitu Kecamatan Lae Parira, sebagai pemekaran dari Kecamatan Silima Pungga-Pungga dan Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe, sebagai pemekaran dari Kecamatan Salak, kedua kecamatan ini ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 33 Tahun 2000 tentang pembentukan Kecamatan Lae Parira dan Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe.

Mengawali berlakunya Otonomi Daerah Kabupaten Dairi telah diresmikan secara definitive pembentukan 2 (dua) kecamatan baru tersebut yaitu Kecamatan Lae Parira yang diresmikan Bupati Dairi pada tanggal 13 Pebruari 2001 di Lae Parira (ibukota Kecamatan Lae Parira) dan Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe, yang diresmikan pada tanggal 15 Pebruari 2001 di Sibande (ibukota Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe).

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 15 tahun 2002 tentang pembentukan Kecamatan Berampu dan Kecamatan Gunung Sitember, maka Bupati Dairi meresmikan Kecamatan Gunung Sitember, tanggal 11 Maret 2003 di desa Gunung Sitember (ibukota kecamatan). Dan meresmikan Kecamatan Berampu pada tanggal 10 April 2003 di Desa Berampu (ibukota Kecamatan).


8. Pembentukan Kabupaten Pakpak Bharat

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Bharat, dan Kabupaten Humbang Hasundutan di Provinsi Sumut (lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 29, tambahan lembaran Negara Nomor 4272), maka telah ditetapkan wilayah

Kabupaten Pakpak Bharat yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan yaitu ;
1. Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe
2. Kecamatan Kerajaan
3. Kecamatan Salak

Peresmian Kabupaten Pakpak Bharat serta pelantikan Pejabat Bupati Pakpak Bharat Drs. Tigor Solin, dilaksanakan pada hari Senin tanggal 28 Juli 2003 di Medan oleh Mendagri, Hari Sabarno.
Pada tanggal 1 Juni 2004 melalui Sidang Paripurna DPRD Kab. Dairi ditetapkanlah Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 6 tahun 2004 tentang pembentukan Kecamatan Silahisabungan sebagai hasil pemekaran dari Kecamatan Sumbul. Kecamatan Silahisabungan diresmikan Bupati Dairi (DR. M.P. Tumanggor) tanggal 14 Juli 2004 di Silalahi.

Tanggal 31 Agustus 2005 melalui Sidang Paripurna DPRD Kab. Dairi ditetapkan pada Perda Kab. Dairi No.6 tahun 2005 tentang Pembentukan Kel. Panji Dabutar hasil Pemekaran dari Kel. Batang Beruh, dan Perda No. 7 Tahun 2005 tentang Pembentukan Kec. Sitinjo yang merupakan hasil dari Pemekaran dari Kec. Sidikalang. Kecamatan Sitinjo diresmikan pada tanggal 14 September 2005 oleh Bupati Dairi (DR. M.P. Tumanggor).

Sampai bulan Desember 2009, wilayah Kabupaten Dairi terbagi atas : 15 Kecamatan, 8 kelurahan dan 161 desa.
1. Kecamatan Sidikalang, ibukotanya Sidikalang;
2. Kecamatan Sumbul, ibukotanya Sumbul;
3. Kecamatan Silima Pungga-Pungga, ibukotanya Parongil;
4. Kecamatan Siempat Nempu, ibukotanya Buntu Raja;
5. Kecamatan Tigalingga, ibukotanya Tigalingga;
6. Kecamatan Tanah Pinem, ibukotanya Kuta Buluh;
7. Kecamatan Parbuluan, ibukotanya Sigalingging;
8. Kecamatan Pegagan Hilir, ibukotanya Tigabaru;
9. Kecamatan Siempat Nempu Hulu, ibukotanya Silumboyah;
10. Kecamatan Siempat Nempu Hilir, ibukotanya Sopo Butar;
11. Kecamatan Lae Parira, ibukotanya Lae Parira;
12. Kecamatan Gunung Sitember, ibukotanya Gunung Sitember;
13. Kecamatan Berampu, ibukotanya Berampu;
14. Kecamatan Silahisabungan, ibukotanya Silalahi;
15. Kecamatan Sitinjo, ibukotanya Sitinjo.

Sumber : http://www.dairikab.go.id

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

  © Blogger templates Newspaper by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP